Syarat Sah Nya Perjanjian Menurut Aturan Hukum Di Indonesia
Pojok Masyarakat Belajar
Medan, 17 Januari 2024
Sejak tahun lalu, salah satu yang sedang hangat hingga tahun baru ini dimasyarakat adalah tentang pinjaman online (Pinjol). Ada kemudahan yang dilihat pada sistem tersebut, dimana tidak ada syarat agunan sebagaimana yang disyaratkan selama ini oleh bank.
Baca : Ini Risiko Pinjaman Online, Pelajari Jangan Sampai Menyesal (cnbcindonesia.com)
Himpitan ekonomi, serta kondisi ekonomi yang sulit, membuat masyarakat butuh modal dalam kondisi tidak adanya harta yang dapat diagunkan. Kondisi ini membuat pinjol terlihat sebagai solusi oleh masyarakat pada kondisi ekonomi tersebut diatas.
Dengan tanpa agunan, masyarakat dapat segera memperoleh uang tunai, dan segera pula dapat menggunakannya. Jikalau untuk kepentingan usaha, masih ada harapan pinjaman dapat dibayar dari keuntungan usaha. Hal inilah yang membuat diawal-awal adanya pinjol, banyak masyarakat yang tertarik menggunakan fasilitas kredit secara online.
Namun tidak jarang ada pinjaman untuk alasan kepentingan usaha, namun pada dasarnya adalah untuk kepentingan kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat yang demikian lah yang akan mendulang masalah besar dikemudian hari. Bahwa ketika tidak ada rezeki yang diperoleh dikemudian hari, maka cicilan pinjol menjadi masalah besar juga dikemudian hari baginya.
Lembaga Bantuan Hukum & Pembela Hak Asasi Manusia Indonesia Bonum Communae (LBH &PHAM Indonesia Bonum Communae) pada kesempatan ini akan mengupas tentang syarat sahnya perjanjian. Perjanjian adalah awal dari terjadinya hubungan antara masyarakat dengan pinjol. Oleh karena itu perlu diketahui seperti apa syarat sahnya perjanjian.
Baca Juga : PROGRAM BPHN MENGASUH DI SD No.102072 KAB. SERDANG BEDAGAI (gerakanmerdeka.com)
Perjanjian merupakan ruang Hukum Perdata. Sah nya suatu perjanjian tertentu, diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan sebagai berikut :
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
-
Tentang Kesepakatan Para Pihak
Syarat perjanjian dinyatakan sah yang pertama adalah adanya kesepakatan para pihak. Artinya harus ada persetujuan atau kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian. Tidak boleh ada paksaan atau tekanan, melainkan perjanjian harus atas dasar kehendak sendiri.
-
Kecakapan Para Pihak
Mengenai cakap tidaknya seseorang, perlu diketahui siapa saja yang menurut hukum tidak cakap atau tidak punya kedudukan hukum untuk membuat perjanjian. Pasal 1330 KUH Perdata menyatakan bahwa,
Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah;
- anak yang belum dewasa;
- orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
- perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.
Akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diatur dalam SEMA No. 3 Tahun 1963 jo. Pasal 31 UU Perkawinan.
-
Suatu Hal Tertentu
Yang dimaksud suatu hal tertentu dalam syarat perjanjian agar dinyatakan sah adalah adanya objek perjanjian. Objek perjanjian tersebut semisal memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata.
Singkatnya, prestasi adalah apa yang jadi kewajiban debitur dan apa yang jadi hak kreditur dalam suatu perjanjian.
-
Sebab yang Halal
KUH Perdata tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai sebab yang halal. Adapun yang diatur adalah suatu sebab terlarang jika dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Hal ini diatur didalam Pasal 1337 KUH Perdata.
Lihat : Syarat Sahnya Perjanjian (youtube.com)
Akibat Hukum Tak Penuhi Syarat Sah Perjanjian
Dari keempat syarat sah perjanjian tersebut di atas, masing-masing terbagi menjadi 2 jenis syarat perjanjian. Yang pertama adalah Syarat Subjektif. Syarat ini menyangkut para pihak dalam perjanjian, yaitu tentang Kesepakatan Para Pihak dan Kecakapan Para Pihak. Yang kedua adalah Syarat Objektif. Syarat ini menyangkut objek dari pada perjanjian, yaitu tentang suatu hal tertentu dan sebab yang halal.
Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif (kesepakatan dan/atau kecakapan), akibatnya perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif (suatu hal tertentu dan/atau sebab yang halal), akibatnya perjanjian batal demi hukum. Guna mempermudah pemahaman Anda, berikut perbedaan keduanya:
Perjanjian Dapat Dibatalkan
Perjanjian dapat dibatalkan atau voidable artinya salah satu pihak dapat meminta pembatalan. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang tidak memberikan sepakatnya secara bebas atas kehendak sendiri).
Jadi secara singkat, perjanjian tidak serta merta batal demi hukum, melainkan harus dimintakan pembatalan ke pengadilan.
Perjanjian dapat dibatalkan adalah akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat subjektif (kesepakatan dan/atau kecakapan) sebagai syarat sah perjanjian.
Perjanjian Batal Demi Hukum
Perjanjian batal demi hukum artinya adalah perjanjian batal, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Batal demi hukum juga dikenal dengan sebutan null and void.
Perjanjian batal demi hukum adalah akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat objektif (suatu hal tertentu dan/atau sebab yang halal) sebagai syarat sah perjanjian. (Meliana)