Korban Pelanggaran HAM 65 Gugat 19 Kementerian / Kelembagaan

Jakarta, 28 Februari 2025
Perjuangan korban pelanggaran HAM berat masa lalu seperti jalan tak berujung. Pergantian rezim dari masa ke masa tidak ada yang memberikan perhatian dan kebijakan kongkrit dalam penegakan HAM. Adapun UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai landasan hukum untuk menyelesaikan kasus- kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, nampaknya itu hanya kamuflase untuk menutupi perhatian dunia internasional atas berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Republik Indonesia.
Bahkan setelah Undang- undang ini disahkan, berbagai peristiwa pelanggaran HAM terus terjadi di Indonesia. Diantaranya dapat dilihat pada banyaknya Korban UU ITE 2016 yang memuat pasal karet yang mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat, perampasan tanah rakyat, penggusuran rumah rakyat, penutupan rumah ibadah, penghilangan nyawa warga oleh aparat, pembubaran seminar sejarah tgl 16 – 9-2016 di kantor LBH Jakarta. Atas pembubaran seminar ini, dinilai demokrasi telah diambang kehancuran. Sehingga berbagai elemen masyarakat demokrasi mengadakan aksi yang bertajuk “Darurat Demokrasi”.
Dalam hirarki peradilan, KOMNAS HAM hanya berwenang pada tahap penyelidikan. Sangat beda dengan KPK yang berwenang dari mulai penyelidikan,penyidikan sampai membuat gugatan ke pengadilan. Ini masalah yang mendasar sehingga KOMNAS HAM tidak punya taring.
Pada pemerintahan Jokowi, dia pernah berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan mekanisme Non Yudisial. Namun penyelesaian jalur Non Yudisial mengakibatkan terjadinya pro-kontra diantara korban. Sebagian korban ingin penyelesaian kasus secara Yudisial atau harus mengadili dan menghukum pelaku seberat beratnya. Sebagian lagi menerima jalur Non Yudisial dengan syarat ada pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, permintaan maaf dari negara/pelaku, ada rehabilitasi dan pemulihan korban terutama dibidang ekonomi kemudian ada jaminan ketidak terulangan peristiwa dari negara.
Menindaklanjuti janji, presiden pada tanggal 26 Agustus 2022 menetapkan Keppres nomor 17 tahun 2022. Kepres ini tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM). Tim PPHAM memiliki tugas yaitu (1) melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial atas pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu; (2) merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya; dan (3). merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM berat tidak terulang lagi di masa yang akan datang.
Pada tanggal 11 Januari 2023 Presiden Joko Widodo menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (PPHAM ) di Jakarta. Dalam keterangannya, Presiden Jokowi mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat telah terjadi pada berbagai peristiwa di Tanah Air. Presiden menyesalkan dan mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Tim PPHAM juga dalam laporannya menyampaikan beberapa rekomendasia. Rekomendasi lebih ditekankan pada 2 hal yang akan dilakukan yaitu: Memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara adil dan bijaksana dan mencegah agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi.
Menindak lanjuti rekomendasi Tim PPHAM, presiden menerbitkan Inpres No. 2 Tahun 2023. Inpres ini tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Selain itu Presiden juga membuat Keputusan Presiden (Keppres) No. 4 Tahun 2023. Kepres ini adalah Kepres tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (Tim Pemantau PPHAM).
Dua aturan itu mengamanatkan kepada 19 kementerian/lembaga sebagai pelaksana untuk pemulihan bagi korban dan keluarga korban. Akan tetapi dalam pelaksanaan korban peristiwa 1965/1966 sama sekali tidak tersentuh. Tentunya hal ini cukup mengecewakan korban peristiwa 1965/1966, dan selanjutnya meresponnya dengan melayangkan Surat Somasi. Somasi tersebut dilayangkan kepada 19 kementerian/ kelembagaan, tapi sama sekali tidak direspon oleh lembaga tersebut.
Akibat tidak diresponnya Somasi tersebut, akhirnya korban peristiwa 1965/1966 memutuskan mengambil langkah hukum. Menggugat 19 kementerian/ kelembagaan di PTUN Jakarta menjadi pilihan korban peristiwa 1965/1966. Gugatan pun diajukan, dan terdaftar dengan Nomor Perkara: 271/G/TF/2024/PTUN.JKT pada tanggal 2 Agustus 2024. Isi tuntutan dalam gugatan tersebut sangat sederhana dan hanya seputar penegakan hukum, yaitu laksanakan Inpres no.2 tahun’ 2023.
Meragukan komitment KOMNAS HAM dalam penegakan HAM
Surat Keterangan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKKPHAM) merupakan legal standing bagi penggugat dalam mengajukan gugatan. Surat tersebut diterbitkan oleh lembaga KOMNAS HAM sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Surat tersebut menerangkan bahwa mereka benar merupakan korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Dan karena itu mereka mempunyai hak untuk mendapat manfaat dari Inpres no 2 tahun 2023.
Namun dalam persidangan banyak dari tergugat mempertanyakan legal standing SKKPHAM. Surat itu dianggap tidak memiliki kekuatan hukum karena diterbitkan hanya berdasarkan penyelidikan Komnas HAM. Para Tergugat tidak mengakui surat tersebut dengan alasan tidak adanya proses penyidikan, persidangan dan keputusan hakim yang inkrah.
Tentu pertanyaan ini telah menggugat keberadaan KOMNAS HAM sebagai lembaga negara. Padahal KOMNAS HAM dibentuk berdasarkan beberapa aturan yang saling berkaitan dan saling menguatkan. Aturan tersebut diantaranya adalah Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Selain itu juga Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-Undang inilah yang memberikan wewenang pada KOMNAS HAM untuk melakukan penyelidikan dan membuat surat keterangan status korban.
Untuk membantah pandangan Tergugat, Penggugat berusaha menghadirkan KOMNAS HAM dalam persidangan. Namun sayangnya upaya tersebut gagal, padahal sebelumnya KOMNAS HAM sudah menyatakan bersedia untuk hadir dipersidangan. Absennya KOMNAS HAM di pengadilan menjadi catatan buruk dalam penegakan HAM di Indonesia.
Sampai saat ini (Februari 2025) proses peradilan atas gugatan korban peristiwa 65 terhadap 19 kementerian/kelembagaan karena tidak dilaksanakannya Inpres no 2 tahun 2023 masih terus berjalan di PTUN Jakarta. Walau usia para penggugat rata rata sudah senja, namun semangat juang mereka terus menyala. Semoga kemenangan menyongsong para korban ketidakadilan dan kejahatan oleh penguasa. (Anitra)
What’s your Reaction?
+1
+1
1
+1
+1
+1
+1
+1