Geng Motor, Kata Bang Rhoma Darah Muda Darahnya Para Remaja
Geng Motor, Kata Bang Rhoma Darah Muda Darahnya Para Remaja
Karin Sabrina
Kemarin sore, saya berdiskusi dengan seorang teman baik yang malas membaca. Seperti umumnya orang yang malas membaca, maka dia suka melakukan simplifikasi brutal terhadap persoalan-persoalan yang rumit. Juga sering menganggap kejadian apapun selalu terkait dengan ‘konspirasi besar’;. Tetapi bagaimanapun dia adalah teman baik saya, maka saya punya kewajiban untuk membantunya lebih ‘berwawasan’.
Teman baik saya ini, kita sebut saja dia Si Boi, membuka diskusi dengan teori tabularasa John Locke. Ya pada intinya teori itu menyatakan anak anak lahir seperti kertas kosong. Sehingga, mereka dapat dibentuk menjadi apa saja seturut dengan lingkungan tempat mereka besar. Lalu Si Boi juga berteori kalau anak – anak yang ikut geng motor orang tuanya seperti orang tua Putri Ariani mungkin mereka tidak akan ikut geng motor. Kan ? Simplifikasi yang sangat brutal terhadap persoalan pelik seperti keterlibatan remaja dengan Geng motor. Begitulah jika orang malas membaca, sulit melihat persoalan dari berbagai sisi.
Saya sendiri bertanya-tanya, kira–kira apa yang membuat seorang remaja menjadi anggota geng motor? Saya mencoba memikirkan berbagai macam kemungkinan; mungkin mereka hanya ikut-ikutan teman, atau mereka mengalami “salah asuhan”, atau mungkin karena tidak ada lagi organisasi Karang Taruna seperti di tahun 80an yang bisa menjadi wadah pemuda untuk berkreasi? Untuk kota Medan, baliho-baliho Organisasi Pemuda semuanya diisi dengan Abangda-Abangnda yang tidak lagi muda.
Bagaimana dengan sekolah? Mengapa hanya Kepolisian yang tampil saat menangkap anak-anak geng motor ini? Tidakkah sekolah harus mengambil peran aktif untuk membantu mengurai persoalan anak-anak yang menjadi anggota geng motor ini? Dimana yang kurang, sehingga begitu banyak anak-anak yang memilih jadi anggota geng motor? Tidaklah bijak, jika lembaga yang menjadi pusat pendidikan menutup mata pada realita ini.
Begitu banyak pertanyaan memang, karena ini persoalan yang rumit. Sambil menuliskan ini saya teringat pada satu film: Freedom Writer, rilis tahun 2007, dibintangi oleh Hillary Swank, film ini diangkat dari Kisah nyata, bercerita tentang … ah anda tentu bisa mencari sendiri di Google, tidaklah baik jika kebiasaan malas membaca seperti Si Boi teman saya itu dipelihara. Ada ucapan yang sangat berkesan dari film tersebut:
Tidak pernah ada yang mau mendengarkan remaja. Semua orang berpikir, kami harus bahagia hanya karena kami masih muda. Mereka tidak pernah tahu perang yang harus kami hadapi setiap hari. Dan suatu hari nanti perang saya akan selesai. Dan saya tidak akan mati. Dan saya tidak akan menolerir pelecehan dari siapapun. Saya Tangguh. – Dari Film Freedom Writer, 2007
Remaja bukan lagi anak anak, yang bisa dihardik lalu kemudian patuh, tapi mereka belum dewasa, sehingga mereka belum sepenuhnya mengerti dampak dari perbuatan mereka. Saya pikir langkah awal yang bisa kita mulai adalah mulai menghargai remaja, mereka tidak kenal takut, mereka berani mengambil resiko, mereka sangat mementingkan teman, mereka butuh wadah untuk berkumpul, mereka butuh tempat untuk berkreasi.
Jika ditanyakan kepada saya, kota Medan ini butuh tempat yang sejuk, ditata rapi dan indah, seperti taman kota dimana anak-anak remaja dan pemuda dari segala kalangan bisa berkumpul dengan gratis, disediakan fasilitas pembelajaran yang bisa mereka pilih sesuai minat mereka semacam perpustakaan, kelas kelas seni/ olahraga/koding/ menulis/ jurnalistik/ entrepreneurship/fotografi dll. Kalau Iwan Fals bernyanyi; kalau saja dana perang untuk diriku, sudah kupacari kau, maka untuk menutup tulisan ini saya menyanyi kalau saja dana lampu pocong untuk para remaja, sudah tidak ada remaja yang mau jadi anggota geng motor.