Mimpi Sisilia Yang Ambruk Dan Program Makan Bergizi Gratis

Deli Serdang, 11 Mei 2025
Malam itu di sebuah rumah kontrakan, seorang buruh memanggil kedua anak nya untuk berkumpul untuk berbicara. “Mari sini Nak, Mamak mau bicara”, ucap Boru Purba kepada kedua putrinya. Mendengar ucapan itu serta melihat mode serius di wajah Ibunya, sang anak pun bergegas mendekati Ibunya. Keduanya hanya diam, dan memperhatikan dengan serius wajah Ibu nya sembari menunggu ucapan berikutnya dari sang Ibu.
Boru Purba berkata kepada pelan dan hati-hati kepada anak-anaknya, “Mamak ada rencana mau kerja ke Malaysia”. Sontak Sisilia (anak tertua Boru Purba) menangis dan berkata, “jangan Mak, sabarlah. Tunggu Aku tamat sekolah, aku akan bekerja Mak. Kukasi semua nanti gaji ku untuk mamak pegang buat biaya hidup kita”, ucap gadis berumur 15 tahun itu. Setelah itu diapun menangis sambil tertunduk, diikuti dengan dekap hangat sang Ibu yang langsung memeluk Sisilia. Sang adik pun hanya bisa ikut menangis tanpa berucap suatu patah kata pun menimpali kata-kata kakaknya.
Sambil memeluk kedua putrinya, Boru Purba pun turut menangis dan bercucuran air mata dengan cukup derasnya. Ia pun berusaha membujuk anaknya dengan berkata, “biar bisa kalian berdua Mamak kuliah kan sampai sarjana”. Namun Sisilia tidak mau kalah, diapun berusaha menghalangi niat sang Ibu untuk pergi bekerja ke Malaysia. “Aku tidak akan kuliah Mak, jangan takut Mamak”, ucap Sisilia meyakinkan sang Ibunya sambil terus menangis.
Sisilia pun meminta kepada Ibu nya untuk terus bekerja di tempatnya bekerja semula sampai dia tamat sekolah tingkat atas. “Bertahanlah sampai aku tamat SMK Mak, selepas itu aku akan kerja dan gaji ku untuk mamak semua buat biaya hidup kita”, tegasnya. “Tolong Mak jangan pergi, sudah cukup kami tanpa Bapak, jangan ditambah dengan kepergian mamak”, ucapnya sambil terus menangis. Ketiganya pun hanyut dalam haru biru Ibu dan anak pada satu pelukan yang sangat dan erat di malam gelap itu.
Mereka ditinggal oleh Ayahnya yang harus pergi mendahului mereka menghadap sang pencipta karena sakit yang mendera. Dan sepeninggalan Sang Suami, Boru Purba harus mengambil alih fungsi Ayah bagi anak-anaknya. Tidak berhenti disitu, dia pun harus mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya hari demi hari. Dan itu sudah dijalaninya dalam kurun waktu dia tahun terakhir ini.
Boru Purba pun sudah dua tahun ini bekerja di sebuah perusahaan yang mengeksport buah-buahan ke luar negeri. Perusahaan tersebut berlokasi usaha di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara yang telah berdiri cukup lama. Dari perusahaan itu, setiap harinya dirinya diberi upah dengan besaran perhari nya senilai Rp 50.000,-. Dan dengan upah itu dia dan kedua anak perempuannya menjalani hidup dengan penuh keterbatasan.
Ditempat kerjanya, bentuk perjanjian kerja nya dan beberapa rekan kerjanya adalah perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Klasifikasi PKWT nya adalah pekerja dengan sistem kerja borongan menurut perusahaan tempatnya bekerja. Jika Ia tidak masuk bekerja, Ia tidak akan mendapatkan upah sama sekali dari perusahaan. Terkadang, dia juga bekerja lembur karena banyaknya bahan olahan yang masuk ke perusahaan. Namun sayang, upah lembur yang diterima nya pun tidak sesuai dengan aturan yang berlaku saat ini di negeri ini
Menghadapi kondisi kerja yang seperti itu, Boru Purba memandang bahwa melawan bukanlah pilihan yang tepat baginya. Pandangan itu muncul pada dirinya karena sulit baginya mencari kerja lagi jika di PHK dengan usia yang mendekati 50 tahun. Hal inilah yang membuatnya harus menerima, dan mengubur niatnya untuk mempertanyakan hak-haknya atas upah. Dan melahirkan niatnya saat ini untuk bekerja ke Malaysia karena upah yang dianggap lebih tinggi di negara tersebut.
Kehidupan yang sulit serta harapan akan pendidikan anak yang tinggi, tentunya sangat bertolak belakang. Kedua anak yang masih duduk dibangku SMP saja sudah cukup menyulitkan Boru Purba dalam memenuhi kehidupan keluarganya. “Tidak mungkin kalian bisa kuliah kalau mamak masih terus bekerja disini Nak”, ucapnya lirih kepada kedua putrinya. Lanjutnya, “hanya jika mamak pergi kesana barulah kalian bisa berkuliah”, ucap Boru Purba sambil terus menangis dan memeluk anaknya.
Cerita Boru Purba dan anaknya adalah bagian dari sekian banyak potret suram masyarakat Indonesia saat ini. Kesadaran yang dimiliknya tentang peningkatan ekonomi hanya bisa dengan berkuliah, sebenarnya sudah cukup baik. Hanya saja, kesadaran tersebut harus berhadapan dengan hambatan yang ada terkait dengan biaya perkuliahan yang mahal. Belum lagi setelah tamat kuliah, lapangan kerja yang ada masih diragukan jumlahnya untuk menampung seluruh para sarjana.
Mundur ke setahun yang lalu, janji pemimpin-pemimpin yang ada di negara ini terdengar cukup luar biasa manisnya. Namun ternyata saat ini janji-janji tersebut tidak mampu berbuat apa-apa terhadap ambruknya mimpi Sisilia untuk berkuliah. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang marak saat ini, nyata tidak mampu berbuat apa-apa bagi mimpi Sisilia. Kecuali, disuatu massa yang akan datang, program MBG tersebut berubah menjadi program kuliah gratis bagi siapapun.
Program MBG itu sendiri sejak mulai berjalan langsung didera berbagai masalah yang rata-rata menyangkut korupsi. Menu yang tidak layak sering sekali terdengar nyaring dan bertolak belakang dengan nama program MBG itu sendiri. Tentu tidak lagi bergizi namanya jikalau makanan yang diberikan pun menyebabkan siswa menjadi keracunan. Ironis, namun itu fakta yang terjadi dibalik program MBG yang berjalan saat ini.
Sepertinya pemerintah perlu lebih dalam ketika mengkaji program yang hendak dirumuskan dan dijalankan. Kajian tersebut pun harus mampu melihat kepada budaya buruk yang masih terus ada menyangkut korupsi. Selain itu, yang terpenting adalah program yang hendak disusun haruslah berangkat dari kondisi masyarakat seperti Boru Purba. Sebab hanya dengan demikian maka program yang lahir akan dapat memberi kontribusi bagi masyarakat seperti Boru Purba. (yig)
What’s your Reaction?
+1
+1
+1
+1
+1
+1
+1