KETIKA KAMPUS MEMINTA FOTO RUMAH KITA, “Urgensinya Apa ya ?”


Demonstrasi UKT Demonstrasi UKT

Setelah pengumuman kelulusan PTN beberapa waktu lalu, saya mendapat cerita dari beberapa orang tua yang anaknya kebetulan lulus di PTN (PTN singkatan familiar dari Perguruan Tinggi Negeri).  Mereka bercerita bahwa mereka bangga dengan kelulusan anaknya tersebut. Akan tetapi mereka juga resah menanti berapa besaran biaya kuliah si anak nantinya. Hal tersebut dikarenakan setiap anak akan dibebani biaya kuliah berbeda, yang katanya sesuai kemampuan ekonomi orangtua.

Karena UKT (uang kuliah tunggal) tiap calon mahasiswa berbeda-beda, tentu banyak yang berusaha mendapat UKT rendah. Maka terdengar pula selentingan ada orang tua yang mapan tetapi bergerilya mencari rumah yang cukup “jelek” untuk difoto. Foto rumah jelek ini bukan untuk diposting di situs penjualan/ penyewaan rumah. Foto rumah itu akan dilampirkan dalam berkas penentuan UKT. Beberapa bahkan menyembunyikan mobil keluarga agar tak terlihat dalam foto. Yang lain memilih memotret rumah kontrakan ketimbang rumah pribadi yang sebenarnya mereka tinggali. Semua dilakukan demi satu harapan: agar uang kuliah anak mereka tak jatuh di golongan tertinggi.

Saya hanya bisa menghela napas panjang. Apakah ini masih bagian dari pendidikan, atau sudah berubah jadi lomba rekayasa? Yang menang adalah yang paling “terlihat” miskin.

 

UKT: Niat Baik, Jalan Berliku

Sistem UKT pertama kali diterapkan melalui Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013, yang menyatakan bahwa setiap mahasiswa hanya membayar satu jenis biaya pendidikan setiap semester, tergantung pada kemampuan ekonominya. UKT diharapkan menjadi bentuk subsidi silang—mereka yang mampu membayar lebih, membantu mereka yang kurang mampu.

Namun, realitasnya jauh dari ideal. Penilaian “mampu atau tidak mampu” ditentukan dari berkas-berkas yang tidak selalu mencerminkan kondisi nyata: slip gaji, tagihan listrik, dan—yang paling absurd—foto rumah, dapur, dan kendaraan bermotor. Seolah-olah kemiskinan bisa dikurasi lewat lensa kamera.

 

Ketika Dapur Jadi Dokumen Resmi

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, semua data ini dikumpulkan tanpa jaminan keamanan yang jelas. Kita bicara soal informasi sensitif: penghasilan keluarga, aset pribadi, bahkan kondisi visual rumah. Di era kebocoran data yang makin sering terjadi, pertanyaannya sederhana: siapa yang menjamin bahwa informasi ini tidak jatuh ke tangan yang salah? Ini bukan sekadar urusan UKT. Ini soal hak dasar atas privasi.

 

Kelas Menengah: Di Tengah, Tapi Terjepit

Dan seperti biasa, yang paling menderita adalah mereka yang berada di tengah: kelas menengah. Tidak tergolong miskin menurut standar negara, tapi juga tidak punya cukup kekuatan finansial untuk bertahan di tengah kenaikan biaya hidup, inflasi, dan ancaman PHK (Pemutusahn Hubungan Kerja). Mereka malu berteriak tidak mampu , tidak pula bisa mengajukan permintaan bantuan, dan setiap bulan mereka menghitung pengeluaran dengan napas yang tertahan. Sistem UKT seperti ini membuat mereka seolah-olah kaya—padahal yang mereka punya hanyalah kerja keras dan sedikit harapan agar anak-anak mereka bisa kuliah.

 

Kampus: Masihkah Tempat Mendidik?

Melihat semua ini, saya jadi bertanya-tanya: apakah universitas negeri kita masih menjalankan tugas utamanya? Kampus seharusnya menjadi rumah bagi pemikiran kritis, ruang untuk membentuk karakter dan integritas. Bukan institusi yang sibuk menuntut foto rumah dan merek kendaraan. Ketika semua diukur dari kemampuan membayar, pendidikan kehilangan makna dasarnya. Tugas universitas bukan menilai aset, tapi mendidik manusia.

Baca Juga : Tridarma Perguruan Tinggi, Apa Dan Bagaimana Pelaksanaannya

 

Rindu Mahasiswa yang Menulis, Bukan Hanya Teriak

Dan di tengah absurditas ini, saya rindu melihat mahasiswa yang benar-benar tanggap terhadap persoalan-persoalan semacam ini. Mahasiswa yang tak hanya sibuk mengejar IPK (Indeks Prestasi Komulatif) atau organisasi prestise, tapi juga berpikir dan bersuara untuk keadilan sosial. Dulu, kita punya figur seperti Soe Hok Gie—mahasiswa yang menulis dengan tajam, berdialog dengan hati, dan marah dengan alasan. Ia bukan hanya aktivis, tapi juga intelektual. Ia tidak sekadar melawan, tapi memahami. Hari ini, suara mahasiswa terasa semakin sayup. Kritik menjadi barang langka. Dan ketika ada yang marah, seringkali marahnya tanpa arah.

Saya tahu, mungkin saya terlalu romantis. Tapi jika universitas tak lagi melahirkan kaum terpelajar yang peduli pada sesama, lalu untuk apa kita membangun kampus sebesar-besarnya?

 

Suara Kecil untuk Harapan Besar

Mungkin ini hanya suara kecil dari seorang orang tua yang cemas. Tapi saya percaya, suara kecil tetap layak untuk didengar. Karena pendidikan tinggi bukan soal mampu atau tidak mampu bayar, tapi soal negara hadir atau tidak untuk anak-anaknya yang ingin belajar.

UKT lahir dari semangat agar pendidikan tinggi bisa diakses sesuai kemampuan. Tapi praktiknya justru membuat banyak orang terpaksa merekayasa citra sosial demi bisa membayar lebih murah. Bukan menghapus ketimpangan, tapi malah memperhalus jurang dengan cara-cara baru.

Jika tujuan awalnya adalah keadilan, maka sudah semestinya kebijakan ini dievaluasi ulang. Bukan hanya pada besarnya biaya, tapi pada cara kita menilai manusia—sudah sepatutnya penilaian bukan dari foto dapur, tapi dari niat dan kemampuannya untuk belajar di perguruan tinggi.

Seftirina Sinambela, M.Hum.

Pemerhati Pendidikan

Karin Sabrina

 

What’s your Reaction?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top