Sisa Hardiknas 2025, “Apa Yang Salah Dengan Salah Jurusan ?”

Setiap tahun, menjelang musim ujian masuk perguruan tinggi, ribuan siswa SMA berlarian dari satu bimbingan belajar ke bimbel lain—yang biayanya semakin tidak masuk akal—demi satu tujuan: masuk jurusan favorit di kampus negeri favorit. Tanpa pernah bertanya: “favoritnya siapa ?”
Jurusan favorit seringkali bukan pilihan hati si anak, tapi konstruksi sosial yang diwariskan turun-temurun: kedokteran untuk anak pintar, teknik untuk anak laki-laki, hukum untuk yang dianggap kritis. Ini bukan semata pilihan, melainkan juga beban yang diletakkan oleh keluarga, lingkungan, dan masyarakat—tanpa banyak ruang untuk bertanya: apa sebenarnya yang ingin kamu pelajari untuk bekal kamu menjalani hidup ?
Lalu muncullah istilah “salah jurusan”, yang terdengar seperti vonis hidup. Sebuah label yang seolah menyatakan: kamu salah pilih ilmu, dan karena itu masa depanmu suram. Padahal menurut saya, itu adalah konsep yang keliru. Bahkan, agak absurd.
Istilah “salah jurusan” tidak lahir begitu saja. Ia tumbuh subur di tengah sistem pendidikan yang semakin berwajah industri. Sekarang, kuliah bukan lagi tentang membentuk manusia berpikir, tapi tentang memenangkan kompetisi pasar kerja. Jurusan dan kampus favorit dikemas seperti merek dagang, dan ditawarkan dalam paket-paket bimbingan belajar dengan harga selangit.
“Masuk jurusan ini = masa depan cerah.” Itu bukan nasihat; itu tagline pemasaran. Dan seperti produk lainnya, narasi ini diulang terus-menerus sampai publik percaya.
Sedihnya, banyak keluarga yang terjerat di dalamnya. Demi “masa depan anak”, orang tua menguras tabungan untuk bimbel premium, siswa stres demi mengejar standar yang absurd, dan guru ikut mendorong agar muridnya lolos demi reputasi sekolah. Semua terjebak dalam mesin kompetisi, tanpa sempat bertanya ulang: apakah benar ini tentang pendidikan?
Ilmu Tak Pernah Sia-sia
Mengatakan seseorang “salah jurusan” itu seperti mengatakan seseorang “salah belajar”. Padahal, tidak ada ilmu yang sia-sia. Ilmu bisa menjadi pijakan, jembatan, bahkan penyelamat—walau tidak selalu dalam bentuk karier yang linier. Banyak orang menemukan jalannya justru melalui persimpangan yang tak terduga, bukan dari jalan tol pendidikan yang katanya “lurus menuju sukses”.
Kita juga perlu jujur bahwa **jurusan tidak menjamin apa-apa**. Kita semua tahu cerita—atau mungkin mengalaminya sendiri—tentang sarjana yang akhirnya menjadi supir, office boy, barista, atau jualan olshop. Bukan karena mereka bodoh atau gagal, tetapi karena dunia kerja tak lagi menilai berdasarkan ijazah, dan sistem pendidikan kita tidak pernah benar-benar sinkron dengan realita.
Baca : 87 Persen Mahasiswa RI Merasa Salah Jurusan, Apa Sebabnya?
Prestise yang Menyesatkan
Masalahnya bukan pada anak-anak muda yang belum tahu mau jadi apa. Masalahnya ada pada ekspektasi sosial yang terlalu berat: orang tua ingin anaknya masuk jurusan yang “membanggakan keluarga”, sekolah mengarahkan siswa ke jalur-jalur yang “punya peluang SNBP tinggi”, dan bimbel menjual mimpi bahwa jurusan A pasti akan membuatmu kaya, stabil, dan disegani.
Kita telah lama menukar rasa ingin tahu dengan prestise, dan proses belajar dengan ambisi posisi.
Padahal, pendidikan seharusnya menjadi ruang untuk tumbuh, bukan alat ukur keberhasilan finansial. Kita telah melupakan fungsi dasarnya Pendidikan: membentuk manusia yang utuh, bukan hanya pekerja yang efisien.
Pendidikan Bukan Pabrik Karier
Saya tidak sedang meromantisasi kebebasan memilih atau menyalahkan orang tua yang khawatir dengan masa depan anaknya. Tapi mungkin sudah saatnya kita berhenti menganggap pendidikan sebagai pabrik pencetak pekerja karir. Karena realitanya, dunia berubah terlalu cepat untuk kita bisa menggantungkan seluruh masa depan pada satu pilihan jurusan saat usia 17 tahun.
Seseorang tidak pernah mengalami “salah jurusan”, Kita hanya berubah, berkembang, bertumbuh. Dan itu normal.
Alih-alih mengejar jurusan yang “favorit” di mata orang lain, kenapa tidak mendorong anak muda untuk mengejar rasa ingin tahu, ketulusan belajar, dan kapasitas berpikir kritis? Bukankah itu yang lebih dibutuhkan dunia saat ini?
Baca Juga : Karin Sabrina, “SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL”
Yang Lebih Penting dari Pintar: Menjadi Orang Baik
Sangat klise memang tapi saya sangat berharap anak-anak muda kita tidak hanya tumbuh menjadi “anak pintar dari jurusan favorit”, tapi juga menjadi pribadi yang baik, yang peduli, dan yang bisa menjadi bagian dari solusi atas berbagai persoalan di sekitarnya.
Dunia tidak kekurangan orang cerdas. Tapi ia sangat membutuhkan lebih banyak orang yang tulus, berempati, dan bertanggung jawab.
Dan percaya atau tidak, ilmu apa pun bisa menjadi sangat berguna ketika digunakan untuk membantu sesama dan memperbaiki lingkungan sekitar.
Pendidikan untuk apa?
Jadi, daripada sibuk menakut-nakuti anak-anak muda dengan istilah “salah jurusan”, mungkin kita semua—orang tua, guru, dan masyarakat—perlu mulai bertanya ulang: apa sih sebenarnya tujuan kita menyekolahkan anak-anak kita?
Kalau jawabannya hanya supaya mereka punya pekerjaan tetap dan gaji besar, mungkin kita sudah kehilangan makna dari pendidikan itu sendiri.
Ketakutan akan “salah jurusan” adalah strategi pemasaran dari bisnis pendidikan yang sangat berhasil. Dan kita semua, sadar atau tidak, pernah menjadi konsumennya. Padahal, pendidikan seharusnya tidak dibisniskan. Ia adalah hak, bukan komoditas. Ia adalah proses pembebasan, bukan perlombaan.Sudah saatnya kita ubah cara pandang. Jurusan bukan nasib. Kampus bukan kasta. Dan ilmu bukan alat untuk naik kelas sosial, tapi bekal untuk membantu, memahami, dan memperbaiki dunia.
Alih-alih menekan anak untuk menjadi “yang paling unggul”, mari bantu mereka tumbuh menjadi pribadi yang tulus belajar, peduli pada sekitar, dan sanggup hidup bermakna—apa pun jurusannya.
Ditulis Oleh : Seftirina Evina Sinambela, M. Hum.