Seftirina, “Ini Bukan Pabrik ! Ini Sekolah ! Jangan Lupa !”


Karikatur Lima Hari Sekolah Karikatur Lima Hari Sekolah

Bayangkan bekerja 40 jam setiap minggu, tanpa upah, tanpa uang lembur, dan tanpa hak cuti. Bagi orang dewasa, itu terdengar melelahkan—dan bisa langsung viral di media sosial sebagai pelanggaran hak tenaga kerja. Tapi inilah kenyataan yang dialami jutaan anak usia sekolah di Indonesia. Mereka datang pagi, pulang sore. Istirahat? Hanya sekitar 2,5 jam dalam seminggu—kurang dari 30 menit per hari. Belum termasuk PR yang mencuri malam mereka. Dan tidak, tidak ada “uang lembur” untuk anak yang mengerjakan soal matematika sampai jam 2 pagi.

Dan ini bukan asumsi liar atau pengalaman segelintir murid di kota besar. Ini sistem resmi yang kita jalankan bersama. Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah menyatakan hari sekolah berlangsung 8 jam per hari selama 5 hari, atau 40 jam dalam seminggu. Aturan ini mungkin disusun dengan niat baik—untuk mengintegrasikan penguatan karakter dan pembelajaran. Tapi di lapangan, banyak sekolah menerjemahkannya secara kaku: hadir fisik 8 jam penuh, setiap hari, Senin sampai Jumat.

Kini, aturan ini kembali digemakan lewat Surat Edaran Gubernur Sumatera Utara Nomor: 400.3/6055/2025, yang mengimbau agar sekolah-sekolah di Medan—dari jenjang PAUD hingga SMP—menerapkan lima hari sekolah penuh. Surat itu ditutup dengan ajakan untuk menyukseskan kebijakan ini sebagai bagian dari kolaborasi dalam membangun Sumatera Utara yang unggul, maju, dan berkelanjutan.

Baca : Sekolah Lima Hari Dinilai Baik untuk Pengembangan Diri Siswa – Pemerintah Provinsi Sumatera Utara

 

Apa yang sedang kita bangun di atas punggung anak-anak ini?

Jika aturan ini dipahami secara harfiah, itu artinya anak-anak akan berangkat pukul 7 atau 8 pagi dan baru pulang pukul 4 atau 5 sore—setiap hari kerja. Mereka akan menghabiskan 9 jam di sekolah (dengan sedikit waktu istirahat), lalu pulang untuk mengerjakan PR, ikut les tambahan, atau sekadar mengatur napas sebelum esoknya kembali mengulang siklus.

Baca Juga : “PENDIDIKAN & KESUKSESAN” (Sebuah Refleksi Dunia Pendidikan)

 

Lalu bagaimana dengan para guru?

Apakah kita mengira guru bukan manusia? Bahwa mereka sanggup mengajar delapan jam penuh setiap hari tanpa istirahat, tanpa kewalahan, tanpa burnout? Jangan salah—guru bukan sekadar hadir secara fisik. Mereka harus menyiapkan materi, memeriksa tugas, menghadapi anak-anak yang sudah kelelahan mental. Guru adalah manusia. Mereka perlu tidur. Mereka perlu hidup. Begitu juga murid-muridnya.

Sekolah ini ! Bukan Pabrik ! Jangan Lupa !

Kita tidak sedang mencetak produk yang seragam. Kita sedang menemani manusia bertumbuh. Pendidikan bukan sekadar soal “jam pelajaran tercapai”. Bukan hitungan kuantitatif durasi belajar. Tapi soal bagaimana anak-anak belajar mengenal dunia dan mengenal dirinya.

Dan yang lebih menyakitkan, kenapa semua seperti lupa bahwa semua ini sudah kita lakukan ?

Bertahun-tahun anak-anak Indonesia (termasuk saya !) sekolah 6 hari dalam seminggu, dari pagi hingga siang, bahkan hingga sore karena ekskul dan bimbingan belajar. Sudah lama mereka dibesarkan dalam sistem belajar panjang dan padat ini. Tapi hasilnya ?

Menurut PISA 2022,

  • 82% siswa usia 15 tahun di Indonesia tidak memahami matematika secara fungsional
  • 75% tidak memahami bacaan sederhana
  • 66% tidak memahami sains dasar

Dari setiap 10 siswa, hanya 2 yang benar-benar memahami pelajaran inti yang diajarkan. Jadi ini bukan soal jamnya kurang. Justru mungkin karena terlalu lama, terlalu padat, terlalu tertekan—hingga tidak ada ruang untuk benar-benar “mengerti”. Dan Level ‘Mengerti’ masih jauh dari level berpikir kritis!

 

Dan ingatlah, ini anak-anak.

Mereka belum matang secara emosional, belum selesai tumbuh. Sementara orang dewasa saja—yang dibayar untuk 40 jam kerja, yang punya hak cuti, BPJS, dan perlindungan kerja—sangat rentan terhadap stres dan depresi karena beban kerja penuh waktu. Apakah kita benar-benar berpikir bahwa anak-anak sanggup menjalani hal yang sama tanpa dampak ?

Astaga… ke mana sebenarnya arah sistem pendidikan kita ? Tapi tulisan ini tidak akan saya tutup tanpa solusi.  Karena sekalipun kita hanya satu titik kecil di tengah kebijakan besar yang tidak masuk akal, titik-titik ini, jika bersatu, bisa jadi garis.  Dan garis itu suatu hari bisa jadi gerakan.

Mungkin kita belum bisa ubah kurikulum. Tapi kita bisa ubah apa yang terjadi di rumah. Kita bisa menciptakan ruang yang tenang, aman, dan hangat bagi anak-anak. Tempat mereka tidak harus berkompetisi. Tempat mereka boleh bermain, beristirahat, merenung, bahkan bosan—tanpa rasa bersalah.  Karena anak-anak  adalah tanggung jawab kita yang butuh dicintai tanpa syarat. Sebagai orang tua yang sudah lelah dengan segala persoalan hidup, kita mendapat tambahan tugas lagi untuk mempertanyakan sistem yang absurd. Semangat !

Seftirina Sinambela S.Pd., M.Hum.

Karin Sabrina
Karin Sabrina
What’s your Reaction?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

Berita Terkait

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Top