“Janji Manis Pendidikan Gratis”, Refleksi Di Hardiknas 2025

Baru saja saya membaca berita tentang satu putusan Mahkamah Konstitusi yang katanya akan membawa angin segar di Dunia pendidikan dasar: negara wajib menjamin pendidikan dasar gratis, tidak hanya di sekolah negeri, tapi juga di sekolah swasta.
Sebagai orang tua, tentu saya senang. Siapa sih yang tak ingin anaknya bisa sekolah tanpa harus memikirkan uang pangkal, SPP, atau biaya tambahan lainnya? Tapi di balik kabar baik itu, kepala saya justru makin pening.
Baca : Indonesia Melanggar HAM, Jika Tidak Memfasilitasi Pendidikan
Kenapa? Karena saya merasa kita semua sedang bergerak tanpa arah yang jelas. Negara melempar janji, tapi tidak disertai peta jalan. Tidak ada grand design yang melibatkan suara orang tua, guru, yayasan, dan anak-anak sendiri. Semua terdengar besar, tapi kosong di dalam. Apa sebenarnya rencana kita untuk masa depan pendidikan dasar?
Apa Benar “Gratis” Itu Gratis?
Istilah “pendidikan gratis” ini juga menurut saya harus diluruskan. Gratis itu artinya tidak bayar sama sekali, kan? Tapi kenyataannya bisa berbeda. Apakah ini akan seperti subsidi saja? Kalau iya, subsidi sebesar apa? Dan siapa yang menentukan sekolah mana yang layak menerima?
Di lapangan, pemilihan sekolah bukan cuma soal murah atau mahal. Banyak orang tua memilih sekolah swasta karena pendekatan yang lebih sesuai dengan nilai keluarga mereka—entah itu pendekatan agama, metode yang dipakai seperti Montessori, atau penerapan kurikulum internasional di sekolah swasta tersebut. Kalau sekarang semua mau diseragamkan dalam kerangka “gratis”, bagaimana negara memastikan kualitasnya tetap dijaga?-
Jangan Sampai Sekolah Kecil Tersingkir, Sekolah Elite Lepas Tangan
Saya khawatir, kebijakan ini malah membuka celah ketimpangan baru. Sekolah swasta elite bisa saja tetap menarik iuran dengan dalih “layanan tambahan”, sementara sekolah swasta kecil yang sudah pontang-panting bertahan malah harus ikut standar negara yang belum tentu realistis bagi mereka.
Bukannya meringankan beban, malah menambah tekanan. Sekolah kecil bisa ambruk, guru-guru kehilangan mata pencaharian, dan anak-anak kehilangan akses pendidikan yang selama ini mereka andalkan.
Hingar Bingar Kebijakan Populis
Mari kita lihat program makan bergizi gratis (MBG) yang juga sempat digembar-gemborkan. Tapi apa hasilnya? Ada yang keracunan, makanan yang disajikan tidak layak, pembayaran ke penyedia tertunda, distribusi tidak merata. Padahal niatnya mulia.
Baca Juga : Mengapa Proyek Makan Bergizi Gratis Kisruh Melulu | tempo.co
Semua terjadi karena satu hal: kebijakan besar tanpa kesiapan pelaksanaan. Saya tidak ingin pendidikan dasar anak-anak kita jadi korban berikutnya dari pola pikir “asal jalan dulu ajalah, soal nanti ya nanti lihat belakangan”.
Jangan sampai pendidikan dasar justru menjadi alat baru yang membelenggu, bukan membebaskan. Karena, seperti kata Paulo Freire, jika pendidikan tidak membebaskan, maka ia akan menjadi alat penindasan.
Lalu, Kita Mau ke Mana Sebenarnya?
Saya makin rindu dengan arah yang jelas. Di mana suara orang tua dalam merancang sistem pendidikan ini? Mengapa setiap kebijakan terkesan reaktif, tambal sulam, dan tidak pernah menyelesaikan masalah dari akarnya?
Kalau memang ingin membantu, bantu dengan cara yang terukur. Libatkan semua pihak. Susun standar yang adil. Pastikan subsidi menyentuh yang benar-benar butuh, bukan hanya mambuat gaduh.
Karena pada akhirnya, pendidikan bukan soal slogan, bukan soal proyek populis, bukan soal pencitraan. Pendidikan adalah tentang anak-anak kita. Bisakah kita duduk bersama dan berdiskusi tentang sistem pendidikan ini? Apakah memang dirancang untuk anak anak kita? Atau untuk siapa sebenarnya?
Mengutip kembali Paulo Freire, pendidikan sejati adalah tentang membuka ruang—bukan sekadar mengisi ruang kosong. Begitu banyak ruang untuk perbaikan, begitu banyak orang orang cerdas di negeri ini, dan jika semua pihak bisa duduk bersama, mengesampingkan ego Dan mengutamakan keterdidikan generasi penerus negara ini, saya yakin kita bisa.
Saya bukan ahli kebijakan. Saya hanya orang tua yang ingin anaknya bisa belajar dengan tenang dan tumbuh menjadi manusia utuh. Tapi kalau arah pendidikan dasar masih terus seperti ini—kabur, bingung, dan penuh eksperimen—maka kita semua harus bersiap menghadapi generasi yang belajar tanpa pegangan, dan tumbuh tanpa fondasi. (yig)
Seftirina Sinambela, M.Hum (Karin Sabrina)
Pemerhati Pendidikan Indonesia
